Matikota

Rabu, 13 Februari 2013

 

Kota kami terletak di timur, di mana matahari terbit. Seharusnya kota kami hangat dan terang seperti halnya matahari. Namun beberapa tahun terakhir kota kami kehilangan cahaya. Gelap di mana-mana, menelan setiap cahaya yang tersisa. Kami berkubang dalam pekat.

Awalnya penduduk kota masih bisa tersenyum sekalipun berada dalam kegelapan. Setidaknya kami masih memiliki harapan. Kota kami tidak akan gelap selamanya. Pasti ada cara untuk mengusir kesuraman. Namun perlahan harapan pun mulai sirna seiring dengan meluasnya kegelapan. Setiap inci tanah dan udara kami dilahapnya dengan rakus. Hingga purna seluruh kota tenggelam dalam pekat.
Beratus-ratus insinyur dan orang-orang hebat didatangkan dari seluruh penjuru negri untuk membasmi kegelapan. Serupa superhero di televisi mereka berbondong-bondong datang dengan gagah berani. Beraneka rupa teori dikemukakan mengenai sebab-musabab kegelapan yang melanda kota kami. Mulai dari teori yang paling ilmiah sampai teori-teori yang bernuansa mistis silih berganti berlompatan dari mulut mereka. Satu persatu dari mereka pun mulai beraksi bak pahlawan. Namun bukannya membereskan masalah, mereka justru malah membuat masalah baru. Menimbulkan kekacauan –kekacauan baru sehingga kami semakin terpuruk.
Penduduk kota pun mulai dilanda frustasi. Isak tagis terdengar membahana memenuhi seantero kota. Ratapan dan caci maki silih berganti diteriakkan melalui pengeras suara. Namun jeritan kami tidak pernah terdengar oleh siapapun. Kami mulai kehilangan harapan.
Jalan-jalan dipenuhi manusia-manusia berwajah gerimis, tengadah dengan tatapan hampa. Bayi-bayi menjerit kelaparan sedang ibu-ibu mereka hanya bisa membatu, tak mampu berbuat apapun. Air susu mereka telah mengering. Yang menggenang hanyalah air mata dan darah. Maka disapihlah para bayi. Air susu diganti dengan air mata yang tak akan mampu mengenyangkan, apalagi menyehatkan tubuh ringkih mereka.
Hari berganti bulan dan bulan berganti tahun. Kami mulai terbiasa. Tak ada lagi air mata seiring dengan menghilangnya senyum dan juga tawa dari wajah kami. Kami berubah serupa mayat hidup. Berjalan, bernapas, dan berbicara tanpa ekspresi. Orang-orang bilang kami telah kehilangan mimpi.
Hingga pada suatu hari dibangunlah sebuah pabrik di batas kota oleh seorang pengusaha besar dari seberang. Pabrik mimpi namanya. Di sana mimpi diproduksi secara besar-besaran. Mimpi-mimpi yang telah jadi kemudian dikemas dengan sangat cantik dan didistribusikan ke setiap penjuru kota. Mulai dari toko-toko besar di jalan utama hingga warung-warung kecil di ujung gang memajang kotak-kotak mimpi di etalase mereka. Mimpi menjadi begitu mudah didapatkan.
Berbagai mimpi ditawarkan dan dijual bebas dengan rupa-rupa harga dari yang murahan sampai yang mahal dan ekslusif. Kami boleh membeli mimpi apapun yang kami mau. Mimpi erotis ataupun mimpi-mimpi magis semua terserah keinginan kami. Harga tak jadi masalah. Semua tersedia tanpa kecuali. Ada uang ada barang. Maka mulailah kami menguras seluruh uang dan harta kami untuk memenuhi hasrat akan mimpi.
Pabrik mimpi terus memproduksi mimpi. Toko-toko dan warung-warung pun terus meraup keuntungan dari jual beli mimpi. Namun kami tak lagi memiliki uang. Semua harta kami telah terkuras habis.
Penduduk pun mulai beringas. Satu persatu toko dan warung penjual mimpi dijarah dan dibakar habis. Pabrik mimpi pun akhirnya gulung tikar dan tak bisa lagi beroperasi karena tak ada lagi toko dan warung yang mau menjual mimpi. Maka musnahlah pabrik mimpi tanpa menyisakan satu mimpi pun untuk kami kenang.
Penduduk yang marah mulai kalap dan membabi buta. Satu persatu dari kami yang masih memiliki persediaan mimpi dibunuh dan dirampas mimpinya. Kegelapan dan teror pun akhirnya menjadi bagian dari hidup kami. Tak ada pilihan lain selain mengikuti alurnya. Kami pun berubah menjadi makhluk barbar dan liar. Memangsa atau dimangsa. Kami tak pernah lagi memikirkan mana kawan mana lawan. Semua adalah lawan. Siapa yang kuat dialah yang akan mampu bertahan. Maka, tak ada lagi kami dalam kepala kami. Yang ada hanyalah aku.

*ilustrasi dari SINI

0 komentar:

Posting Komentar