Kota kami terletak di timur, di mana matahari terbit. Seharusnya kota kami hangat dan terang seperti halnya matahari. Namun beberapa tahun terakhir kota kami kehilangan cahaya. Gelap di mana-mana, menelan setiap cahaya yang tersisa. Kami berkubang dalam pekat.
Awalnya penduduk kota
masih bisa tersenyum sekalipun berada dalam kegelapan. Setidaknya kami
masih memiliki harapan. Kota kami tidak akan gelap selamanya. Pasti ada
cara untuk mengusir kesuraman. Namun perlahan harapan pun mulai sirna
seiring dengan meluasnya kegelapan. Setiap inci tanah dan udara kami
dilahapnya dengan rakus. Hingga purna seluruh kota tenggelam dalam
pekat.
Beratus-ratus insinyur dan orang-orang hebat didatangkan dari seluruh penjuru negri untuk membasmi kegelapan. Serupa superhero
di televisi mereka berbondong-bondong datang dengan gagah berani.
Beraneka rupa teori dikemukakan mengenai sebab-musabab kegelapan yang
melanda kota kami. Mulai dari teori yang paling ilmiah sampai
teori-teori yang bernuansa mistis silih berganti berlompatan dari mulut
mereka. Satu persatu dari mereka pun mulai beraksi bak pahlawan. Namun
bukannya membereskan masalah, mereka justru malah membuat masalah baru.
Menimbulkan kekacauan –kekacauan baru sehingga kami semakin terpuruk.
Penduduk kota pun
mulai dilanda frustasi. Isak tagis terdengar membahana memenuhi seantero
kota. Ratapan dan caci maki silih berganti diteriakkan melalui pengeras
suara. Namun jeritan kami tidak pernah terdengar oleh siapapun. Kami
mulai kehilangan harapan.
Jalan-jalan dipenuhi
manusia-manusia berwajah gerimis, tengadah dengan tatapan hampa.
Bayi-bayi menjerit kelaparan sedang ibu-ibu mereka hanya bisa membatu,
tak mampu berbuat apapun. Air susu mereka telah mengering. Yang
menggenang hanyalah air mata dan darah. Maka disapihlah para bayi. Air
susu diganti dengan air mata yang tak akan mampu mengenyangkan, apalagi
menyehatkan tubuh ringkih mereka.
Hari berganti bulan
dan bulan berganti tahun. Kami mulai terbiasa. Tak ada lagi air mata
seiring dengan menghilangnya senyum dan juga tawa dari wajah kami. Kami
berubah serupa mayat hidup. Berjalan, bernapas, dan berbicara tanpa
ekspresi. Orang-orang bilang kami telah kehilangan mimpi.
Hingga pada suatu hari
dibangunlah sebuah pabrik di batas kota oleh seorang pengusaha besar
dari seberang. Pabrik mimpi namanya. Di sana mimpi diproduksi secara
besar-besaran. Mimpi-mimpi yang telah jadi kemudian dikemas dengan
sangat cantik dan didistribusikan ke setiap penjuru kota. Mulai dari
toko-toko besar di jalan utama hingga warung-warung kecil di ujung gang
memajang kotak-kotak mimpi di etalase mereka. Mimpi menjadi begitu mudah didapatkan.
Berbagai mimpi ditawarkan dan dijual bebas dengan rupa-rupa harga dari yang murahan sampai yang mahal dan ekslusif.
Kami boleh membeli mimpi apapun yang kami mau. Mimpi erotis ataupun
mimpi-mimpi magis semua terserah keinginan kami. Harga tak jadi masalah.
Semua tersedia tanpa kecuali. Ada uang ada barang. Maka mulailah kami
menguras seluruh uang dan harta kami untuk memenuhi hasrat akan mimpi.
Pabrik mimpi terus
memproduksi mimpi. Toko-toko dan warung-warung pun terus meraup
keuntungan dari jual beli mimpi. Namun kami tak lagi memiliki uang.
Semua harta kami telah terkuras habis.
Penduduk pun mulai
beringas. Satu persatu toko dan warung penjual mimpi dijarah dan dibakar
habis. Pabrik mimpi pun akhirnya gulung tikar dan tak bisa lagi
beroperasi karena tak ada lagi toko dan warung yang mau menjual mimpi.
Maka musnahlah pabrik mimpi tanpa menyisakan satu mimpi pun untuk kami
kenang.
Penduduk yang marah
mulai kalap dan membabi buta. Satu persatu dari kami yang masih memiliki
persediaan mimpi dibunuh dan dirampas mimpinya. Kegelapan dan teror pun
akhirnya menjadi bagian dari hidup kami. Tak ada pilihan lain selain
mengikuti alurnya. Kami pun berubah menjadi makhluk barbar dan liar.
Memangsa atau dimangsa. Kami tak pernah lagi memikirkan mana kawan mana
lawan. Semua adalah lawan. Siapa yang kuat dialah yang akan mampu
bertahan. Maka, tak ada lagi kami dalam kepala kami. Yang ada hanyalah
aku.
*ilustrasi dari SINI
0 komentar:
Posting Komentar