Dissension

Senin, 25 Februari 2013


Cezta

Sebuah pesan singkat terpampang di layar ponselku. Kutunggu di sini, cepatlah datang. Emoticon kecupan di akhir pesan. Aku tersenyum senang. Kupulas bibir dengan gincu warna menggoda dan perona pipi lembut yang membuatku merona. Kuganti bajuku dengan gaun one shoulder warna perak di atas lutut dan sepatu hak taji dari beludru berhias batu-batuan. Kau menggoda dengan missed call-mu. Jika kuangkat, kau tutup telponnya. Aku semakin tak sabar melihatmu. Kutata rambut dengan hair bun dan kusematkan hair piece molde bulu dan renda yang cantik.


Lima belas menit lagi, sayang. Aku siap. Aku dalam perjalanan. Untung malam ini tidak macet. Kuketik pesanku dengan terburu. Beruntung kursus menyetirku tak sia-sia. Begitu sampai aku segera naik ke lantai dua. Klab masih sepi, baru pukul sebelas malam. Yang menunggu ada di pojok remang ruangan, menggunakan setelan gelap dan sepatu kulit yang mewah. Ia berdiri menyambutku. Kukalungkan lenganku. Ia berbisik, mendekatkan bibirnya di daun telingaku. Aku tertawa mendengar lelucon nakalnya. Ia semakin mengeratkan pelukannya di pinggulku.
Apakah tidak ada setitik pun rasa bersalah atas sikapku? Kurasa tidak. Damian sudah memiliki cukup waktu denganku dan tak ada salahnya aku bersenang-senang dengan Fabio. Toh kami tidak memproklamirkan kedekatan kami sebagai hubungan tetap. Kami hanya melakukannya sebatas kesenangan dan kami saling membutuhkan saat pasangan kami sibuk. Bukankah jauh lebih menarik? Sekali dua kali aku juga akan bosan sendiri dan kembali pada Damian.

Damian
Cinta itu indah, tulus dan suci. Kau tahu itu. Tak ada yang lebih membahagiakan hati seorang pecinta selain dicintai dengan sepenuh hati. Lalu, apalagi yang harus dipertahankan dari cinta bila kekasih berhianat dan memalingkan rasa. Aku hancur karenanya. Melihat dia dan lelaki itu saling bercumbu mesra dalam remang. Seperti inikah wajah aslimu, Cezta. Jawab aku!
“Aku dan lelaki itu tidak ada hubungan apa-apa Damian.”
“Maaf! Aku tidak percaya padamu.”
“Kau sudah salah paham. Aku mohon dengarkan dulu penjelasanku!”
“Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan. Apa yang aku lihat sudah lebih dari cukup untuk kujadikan sebagai bukti. Ingat, Cezta! Ini bukan yang pertama kalinya kau menghianatiku.”
“Damian, aku mencintaimu.”
“Pembohong keparat!”

Cezta
Fabio meninggalkanku ke kamar kecil. Hari beranjak dini hari. Pukul dua. Teryata Fabio mengundang banyak orang. Suasana gegap gempita. Mereka mengira aku adalah kekasih Fabio. Namun Fabio tidak berusaha menampik ia semakin mengeratkan pelukannya di pinggulku dan tak menggubris ajakan perempuan lain untuk minum. Tanpa segan ia mengajakku dan memperkenalkan satu per satu kawan main maupun rekan kerjanya. Kulihat Fabio bangga membawaku dan bahagia menghabiskan malam denganku. Tiba-tiba terlintas untuk memilih Fabio saja.
Fabio mengeluhkan perutnya. Ia kembali ke kamar kecil. Sudah kuduga. Ia pasti terlambat makan hari ini, telalu banyak alkohol dan kesehatannya buruk. Aku mengajaknya ke klinik dua puluh empat jam, beberapa blok dari sini. Fabio justru menarikku ke dalam rengkuhannya. “Tidak, aku tak mau menyudahi malam ini di klinik. Aku mau di sini, denganmu.” Kami bercumbu. Di sana, di kejauhan, Damian berdiri. Terlalu gelap, aku tak dapat mengartikan tatapannya.

Damian


Kami bertatapan, aku dan Cezta. Sepasang kekasih yang pernah saling mencintai kini harus saling berhadapan dalam sebuah perseteruan. Pangkal masalahnya sederhana saja menurutnya, tapi aku tidak terbiasa dengan itu. Bagiku itu adalah sebuah masalah besar, yang telah menggerus harga diriku sebagai seorang laki-laki. Aku terhina.


Cezta menangis. Tangannya gemetar menodongkan sepucuk pistol padaku. Begitu pun denganku. Tanganku mantap menggenggam baretta yang diwariskan ayahku. Aku tak bergeming. Tak ada lagi alasan untuk mundur barang setapak pun. Cezta sudah benar-benar membuatku muak. Seribu pembantahan yang dia muntahkan tak dapat memuaskan hasratku, apalagi membuatku yakin dan percaya padanya.
Aku maju selangkah, kulihat Cezta sedikit beringsut mundur. Mungkin dia gentar. Tapi aku sudah bulat dengan tekadku. Satu tarikan nafas mengiringi gerak ibu jariku menekan pelatuk. Dan… Duar!! Kulihat Cezta terjengkang ke belakang, jatuh dengan tubuh bersimbah darah.

Cezta
Damian menyeretku ke parkiran. Aku menjerit ketika ia membuka pintu mobil dan melemparku ke dalam.
“Mobilku bagaimana?”
“Jangan pikirkan itu!” ia membentakku. Ditariknya rambutku, “Dengar perempuan, mana harga dirimu? Mengapa kau rendahkan? Kau punya aku, buat apa kau kemari bersama laki-laki itu?”
“Damian,” rintihku. Damian melepas rambutku. Kepalaku membentur dashboard. Sakit luar biasa. Entah dibawa kemana aku. Ia mengendarai mobilnya seperti orang kesetanan. Kami hampir menabrak sebuah taksi. Ia memaki si sopir melalui kaca yang terbuka. Ia tak henti membunyikan klaksonnya. Aku merasa ngeri. Di pinggangnya, yang ditutupi kaus dan jaket tipis, tersingkap sepucuk baretta. Aku teringat pistol yang selalu kusimpan dalam tasku untuk membela diri. Tas itu masih diselempangkan di pundakku. Aku bersiap.

Damian
Aku menyeka peluh yang membasahi wajahku. Baru saja hendak kulangkahkan kakiku menuju pintu, ketika tiba-tiba aku merasakan nyeri yang teramat sangat di dadaku. Kepalaku rasanya seperti berputar-putar. Aku limbung dan jatuh terhempas membentur lantai.
Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Hari sudah menua sepertinya saat aku terbangun. Senyap dan dingin begitu kentara di ruangan ini. Aku masih mengerjap-ngerjapkan mataku saat kudengar sebuah suara.
“Rupanya kau sudah bangun, Damian.”
Aku mengenal suara itu. Ya, suara itu milik Cezta. Dalam keadaan setengah sadar aku memutar pandangan. Kulihat Cezta tengah duduk di sebuah kursi panjang di tengah ruangan. Kenapa dia bisa berada disitu. Bukankah aku sudah membunuhnya tadi.
“Kenapa kau memandangiku seperti itu?” Cezta bertanya.
“Kau masih hidup?” aku keheranan.
Cezta menyeringai. Bibirnya melengkung sinis.
“Damian, tidakkah kau menyadari apa yang telah terjadi pada kita? Coba kau perhatikan dirimu. Apakah kita masih hidup?”

Cezta
Damian melangkah mundur. Aku menerjangnya sekuat tenaga. Barettanya terjatuh. Kutendang semakin jauh. Aku memukulnya dengan sebilah kayu. Ia memuntir tanganku dan mendorongku ke sebuah peti. Kepalaku terantuk ujung peti. Darah mngucur deras. Aku berteriak. Ia menahan kedua tanganku. Aku berusaha menendang selangkangannya. Ia menamparku kanan kiri berulang kali. Aku menggigit lehernya. Ia memaki. Segala sumpah serapah keluar dari mulutnya. Aku menekan pelatuk. Pistolku memiliki peredam dari titanium. Ia makin menggila. Dicekiknya aku sekuat tenaga. Aku mencakar-cakar wajahnya. Ia mendorongku hingga terjerembab ke lantai. Kuraih pistolku. Ia berjalan ke arahku dengan barettanya, matanya buas siap melumatku hingga kepingan-kepingan terkecil. Aku takut. Mundur beberapa langkah. Ia maju.
“Apa kau akan membunuhku?”
Ia tertawa dan menekan pelatuknya. Aku terjengkang. Dadaku sesak. bola mataku berputar.
***
 With Erlinda Sukmasari Wasito

0 komentar:

Posting Komentar