Telepon dari Alice

Rabu, 30 Januari 2013
Sepasang suami istri sedang bercakap-cakap di ruang makan. Nampaknya mereka baru saja menyelesaikan santap malam. Piring-piring kotor dibiarkan menumpuk di sisi kanan meja. Sementara dua buah cangkir bermotif bunga tergeletak pasrah di hadapan mereka lengkap dengan tatakannya.
“Kau mau teh lagi?” si istri menawarkan.
“Boleh.” Si suami mengasongkan cangkir yang sudah hampir kosong.
“Tadi siang Alice menelepon,” si istri menuangkan teh panas ke dalam cangkir. Aroma teh hangat segera meruap lembut menusuk hidung. “Sepertinya dia sangat merindukan kita berdua.”
“Alice?” si suami mengerutkan dahi. Diseruputnya teh yang baru dibuat istrinya lambat-lambat. “Teh buatanmu enak sekali.”
“Mungkin ada baiknya liburan musim panas nanti kita berdua mengunjunginya di asrama.”
Si suami bangkit dari meja, berjalan menuju ruang keluarga dan menyalakan televisi. “Acara televisi tidak ada yang benar,” gerutunya sambil menekan tombol stand by. “Membosankan.” Dia lalu melempar remote televisi begitu saja di atas sofa.
Si istri menghampiri dengan sebuah piring di tangan. “Biskuit?” tawarnya.
“Tidak, aku sudah kenyang.” tolak si suami lalu menghempaskan pantatnya di atas kulit sofa diikuti istrinya.
“Aku ingin menjenguk Alice,” si istri merajuk. “Aku sangat merindukan putri kecil kita.”
“Hmm, bisakah kau buatkan aku secangkir kopi.” pinta si suami.
“Aku sedang bicara.”
“Tapi aku sedang ingin secangkir kopi."
“Hmm, baiklah.”
Nampak malas si istri menyeret tubuhnya menuju dapur. Suara sendok terdengar berdenting kasar menggaruk-garuk dinding cangkir.
“Bagaimana kalau kita ajak Alice sesekali bertamasya,” si istri mengasongkan cangkir kopi kepada suaminya. “Tadi di telepon dia bilang sangat ingin berenang di pantai.”
“Kopimu terlalu pahit,” si suami mengalihkan pembicaraan. “Tidak seperti biasanya.
“Mungkin aku lupa menaruh gula.”
”Kau tidak pernah lupa menaruh gula sebelumnya.”
“Iya, tapi kali ini aku lupa.”
“Kau tidak pernah melupakan apapun,” si suami mendengus lalu meletakkan cangkir kopinya di pinggiran sofa. “Kau hanya selalu lupa pada satu hal.”
“Kenapa kau selalu mengajakku berdebat hal yang tidak penting setiap aku berbicara tentang Alice?”
“Aku tidak pernah.”
“Kau selalu begitu.”
“Perasaanmu saja.”
“Kau tidak pernah merindukan putrimu sendiri.”
“Aku ngantuk,” si suami bangkit hendak menuju kamar tidur. “Sebaiknya kau juga segera tidur.” ia mengecup kening istrinya.
Si istri meraih tangan si suami, mencoba menahannya pergi.
“Aku ingin bertemu Aliceku.”
“Suatu hari nanti kau akan bertemu dengannya, sayangku.”
“Bagaimana bila kita berkemah saja kalau kau tidak suka pantai?”
Si suami menatap mata istrinya lekat-lekat. “Tidurlah,” ia mengulangi permintaanya. “Nampaknya kau kelelahan sekali hari ini.”
“Tapi Alice…”
“Sudahlah Beth,” si suami mengiba “Hentikan berbicara seolah-olah Alicemu itu nyata,” disentuhnya bibir si istri. Ia usap dan ia kecup dengan hangat. “Kelak kita akan memiliki Alice, tapi tidak sekarang.”

***

Perempuan dalam Cermin

Senin, 28 Januari 2013

 

Hari sudah malam benar, gelap telah sepenuhnya melahap bumi. Langit tak menyisakan lagi terang barang setitik. Bahkan bulan pun tampak enggan muncul malam ini. Mungkin ini dini hari, mungkin juga menjelang subuh. Aku tak peduli, dan memang tak ingin peduli. Letih mendera jiwa dan raga ini. Letih karena sebuah pertarungan yang entah dimenangkan oleh siapa. Dalam genangan air mata aku terbaring. Di sampingku terbujur kaku seorang lelaki dengan tubuh bersimbah darah. Sebilah pisau yang besar dan panjang tertancap di punggungnya. Kurasa dia sudah mati. Perempuan itu pasti sudah membunuhnya.

Dia suamiku, lelaki yang pernah teramat kucintai. Pernah kataku, karena kini aku sudah lupa. Entah benar-benar lupa atau memang sengaja kubuat lupa. Yang kuingat hanyalah dengus nafasnya yang senantiasa berbau alkohol dan tangannya yang sekuat baja. Aku tahu tangannya sekuat baja, karena tangan itu sering bersarang di tubuh dan wajahku, membentuk lebam-lebam yang tak hilang dalam seminggu. Rasanya memang seperti membentur tiang baja yang banyak terpancang di jalan raya. Sakit, teramat sakit. Bukan hanya di tubuh ini, tapi terlebih di hati.
Perihal tangan suamiku yang sekuat baja itu bukanlah perkara yang asing bagiku. Hampir setiap hari aku melahapnya. Tak masalah benar atau salah, tetap saja baja itu melayang kepadaku. Padahal, lelaki itu adalah sosok paling lembut yang pernah kukenali dulu. Tapi waktu yang bergulir telah menumpas habis seluruh kelembutannya hingga tandas tak bersisa. Entah apa gerangan yang telah merasuki hati dan jiwa lelaki itu, hingga ia menjadi berubah kasar dan beringas. Mungkin karena tekanan pekerjaan, mungkin juga karena kekalahan di meja judi, atau boleh jadi karena kehadiran wanita lain. Entahlah! Aku tak ingin memikirkan tentang itu. Semua terlalu menyakitkan bagiku. Rasa-rasanya, memukul memang telah menjadi aktivitas kegemaran suamiku kini.
Bertahun aku mencoba bertahan demi sebuah puing-puing yang kusebut cinta. Meski aku tak tahu apakah cinta itu benar masih ada ataukah hanya sekedar ilusi belaka. Seperti yang sering kugambarkan dalam sebuah pola. Tak rumit, sangat sederhana bahkan. Tentang aku dan dia yang menggambar pelangi di langit senja. Juga tentang kami yang menabur bintang gemintang di gelap malam. Kulihat mereka berkedip jenaka. Aku tersenyum pun dirinya. Kami tertawa juga bercerita. Pada suatu masa yang kami sebut hari tua, juga mereka yang kami panggil anak-anak. Atau tentang peristiwa yang bernama kenangan dan nostalgia, juga kelak yang niscaya penuh canda. Ah, aku tak sanggup lagi melukis khayal yang serupa gambar tak nyata itu. Hanya mampu tergugu di depan cermin, mengalirkan bergalon-galon air mata yang tertumpah serupa bendungan yang jebol tangggulnya.
"Akhiri semua!"
Itu adalah kalimat yang membuka perkenalanku dengannya, dengan perempuan dalam cermin. Dia sangat mirip denganku, bahkan sama. Hanya ada satu yang nampak berbeda. Perempuan itu terlihat jauh lebih tua dariku, mungkin sepuluh tahun. Wajahnya penuh dengan gurat-gurat kesedihan dan air mata. Matanya hitam pekat, lebih pekat dari malam. Tak ada kemilau disana apalagi gemintang, hanya ada nyala api yang membara. Tapi dia memang sungguh mirip denganku. Dan aku yakin benar, dia memang aku yang bukan aku.
Tanpa teman, tak ada kawan. Hanya ada aku saja berdua dengan perempuan dalam cermin. Perempuan serupaku dengan seringai yang melengkung tajam di sudut bibirnya.
"Aku tak sanggup lagi!"
Hampir putus asa diriku menghadapi semua ini. Aku tak tahan, ingin aku pergi meninggalkan lelaki itu. Tapi ia selalu saja bisa menemukanku dan menyeretku kembali kedalam nerakanya. Aku terkadang menjerit pilu. Dimanakah Tuhan? Mengapa Dia membiarkanku terus dibelenggu oleh jahanam ini.
"Aku tak sanggup, benar-benar tak sanggup lagi!" batinku menjerit pilu.
Tubuh ini mulai merapuh, tak lagi sanggup menahan hantaman baja lelaki itu. Hati ini sudah terlampau keropos, dimakan ulat-ulat kebencian yang terus berkembang-biak setiap detiknya.
"Akhiri semua! Akhiri sudah semua!"
Dia sahabatku, satu-satunya kawanku berbicara. Hanya dia yang senantiasa temaniku dalam perih, lewati sepi yang merengkuh. Dialah perempuan dalam cerminku, yang selalu tawarkanku berjuta pilihan, imingi mimpiku dengan kisah-kisah pembebasan dari siksa dan nestapa.
Malam itu semua biasa saja, tak ada yang istimewa. Awalnya hanyalah sebuah percakapan hambar disela makan malam yang tak bisa disebut hangat. Tiba-tiba lelaki itu memurka. Dengan penuh amarah dia lemparkan piring yang terdiam pasrah di hadapannya kearahku, tepat mendarat di pelipisku. Darah mengucur deras, aku meraung sejadi-jadinya. Apa salahku? Aku hanya bertanya tentang perempuan yang belakangan ini tampak begitu dekat dengannya. Kenapa dia harus membabi buta seperti itu?
"Jangan campuri urusanku!" ujarnya geram sembari mencengkeram leherku dengan kedua tangannya yang kuat seperti baja. Aku meronta, berusaha untuk melepaskan diri. Tapi dia terlampau kuat. Kurasa kematian tinggal sejengkal jarak saja denganku ketika tiba-tiba dia melonggarkan cengkeramannya dan mencampakkan tubuhku di lantai bagai sampah yang tak berarti. Dalam kesadaran yang telah menipis aku mencoba bernafas, menggapai-gapai oksigen yang terasa begitu sulit mendekat.
Lelaki itu pergi begitu saja, membalikkan badan dan masuk kamar. Dengan sedikit tenaga yang tersisa aku mencoba bangkit dan mengejarnya. Di tanganku tiba-tiba saja telah tergenggam sebilah pisau yang besar dan panjang. Tidak! Itu bukan aku, tapi perempuan itu. Perempuan dalam cerminku. Dia yang mengejar lelaki itu masuk kamar. Dengan sebuah gerakan cepat dia menikam punggung suamiku. Aku ingin mencegah, tapi kuurungkan niatku. Tak apa dia mati, memang itu yang kuinginkan. Kubiarkan saja perempuan itu menikam tubuh suamiku berkali-kali hingga ia pun roboh bersimbah darah, membentur lantai putih yang dingin. Darah menggenang dimana-mana. Aku mendekat. Kurasa letih mendera sangat. Dalam genang air mata aku terbaring, berusaha memejamkan mata. Terakhir kulihat perempuan itu menyeringai penuh kemenangan.
"Kau sudah bebas sekarang."
Aku pun tertawa membahana dalam tangis.
*****
*Stop KDRT..!!!!