#PostcardFiction Edisi Valentine

Kamis, 28 Februari 2013
Dalam rangka ikut meramaikan hajatannya Kampung Fiksi yang bertajuk #PostcardFiction Edisi Valentine, saya akhirnya memberanikan diri buat mengirim dua buah fiksi mini dengan sub tema Blue Theme (Sad Love Story). Malu siiiih, gak pede juga. Tapi gak apa-apa yaaa, sekadar buat ikut meramaikan aja, hehhehhe ...
Ada dua buah cerita mini yang saya buat dan saya posting di sini. Tapiiii,, berhubung dua-duanya beraroma biru, jadi saya berencana untuk membuat satu lagi postcard dalam sub tema Pink (doakan saya yaaa). Yang mungkin akan saya posting beberapa hari ke depan.
Nah, buat yang sekarang yang biru-biru aja dulu yaa.

Ini yang pertama  
Sebuah fiksi mini yang berjudul Delapan. Semoga bisa dinikmati. (tampilan foto sudah diedit, hehehe)
Dan ini satu lagi
Sebetulnya fiksi mini yang ini sudah saya posting dua hari kemarin. Tapi berhubung foto scannya gak jelas, jadi saya posting ulang. Foto sudah saya edit juga, biar agak-agak lucu gimanaaaa gituuu.. :)
Akhirul kata, terimakasih buat Kampung Fiksi yang sudah menyelenggarakan event keren ini. Semoga bisa sering-sering ya. Aamiin..
***

#PostcardFiction Edisi Valentine

Selasa, 26 Februari 2013


Hujan Bulan Desember
Oleh: Herlia Annisa
“Aku akan menjemputmu di penghujung Desember sebagai pengantinku.”
Ini bulan Desember. Saat matahari lebih sering malu-malu tampak dan memilih untuk bersembunyi di balik kelabu. Terkadang petir berteriak, menyuarakan tangisan langit. Membuat Desember semakin menggigil dalam basah.
Seperti itu pula yang ia rasakan saat ini. Ketika semua janji-janji yang pernah begitu ia percayai bahkan melebihi kitab suci tiba-tiba saja berbalik arah, menikam. Adalah Dimas, pria yang  sanggup membuatnya berbunga serupa warna-warna pelangi. Tiga tahun yang lalu cinta itu bersemi. Ia tata, ia simpan dalam album kenangan, kemudian ia tangisi.
“Aku akan menjemputmu di penghujung Desember sebagai pengantinku.”
Itu hampir tepat dua tahun lalu. Tak pernah sedikit pun ia menyangka bahwa cintanya akan menempuh jalan penantian yang begitu panjang. Tapi harapan tak pernah lekang. Meski Desember kerapkali menangis, toh ia tetap mengukir senyuman. Tak berani membunuh asa yang kadung tumbuh subur dalam hatinya. Dimas sungguh mencintaiku dan janjinya bukanlah palsu, begitu ia sering menggumam, menghibur diri sendiri.
Namun alangkah hancurnya hati bila ternyata semua penghiburan itu akhirnya berujung kecewa. Ia tak lagi kuasa menahan air mata yang selama ini ia kemas rapi di sudut-sudut kosong kedalaman dadanya. Tak membiarkan seorang pun melihat betapa sesungguhnya ia menahan kecamuk badai.
Sudah, lepaslah sudah semua. Asa telah hancur berkeping dan janji-janji tak akan pernah tertepati. Ia mengerang perih bersamaan dengan datangnya selembar surat undangan bersampul biru. Tertulis nama Dimas Prasetya sebagai mempelai pria, namun bukan dengannya.   
***

Dissension

Senin, 25 Februari 2013


Cezta

Sebuah pesan singkat terpampang di layar ponselku. Kutunggu di sini, cepatlah datang. Emoticon kecupan di akhir pesan. Aku tersenyum senang. Kupulas bibir dengan gincu warna menggoda dan perona pipi lembut yang membuatku merona. Kuganti bajuku dengan gaun one shoulder warna perak di atas lutut dan sepatu hak taji dari beludru berhias batu-batuan. Kau menggoda dengan missed call-mu. Jika kuangkat, kau tutup telponnya. Aku semakin tak sabar melihatmu. Kutata rambut dengan hair bun dan kusematkan hair piece molde bulu dan renda yang cantik.


Lima belas menit lagi, sayang. Aku siap. Aku dalam perjalanan. Untung malam ini tidak macet. Kuketik pesanku dengan terburu. Beruntung kursus menyetirku tak sia-sia. Begitu sampai aku segera naik ke lantai dua. Klab masih sepi, baru pukul sebelas malam. Yang menunggu ada di pojok remang ruangan, menggunakan setelan gelap dan sepatu kulit yang mewah. Ia berdiri menyambutku. Kukalungkan lenganku. Ia berbisik, mendekatkan bibirnya di daun telingaku. Aku tertawa mendengar lelucon nakalnya. Ia semakin mengeratkan pelukannya di pinggulku.
Apakah tidak ada setitik pun rasa bersalah atas sikapku? Kurasa tidak. Damian sudah memiliki cukup waktu denganku dan tak ada salahnya aku bersenang-senang dengan Fabio. Toh kami tidak memproklamirkan kedekatan kami sebagai hubungan tetap. Kami hanya melakukannya sebatas kesenangan dan kami saling membutuhkan saat pasangan kami sibuk. Bukankah jauh lebih menarik? Sekali dua kali aku juga akan bosan sendiri dan kembali pada Damian.

Damian
Cinta itu indah, tulus dan suci. Kau tahu itu. Tak ada yang lebih membahagiakan hati seorang pecinta selain dicintai dengan sepenuh hati. Lalu, apalagi yang harus dipertahankan dari cinta bila kekasih berhianat dan memalingkan rasa. Aku hancur karenanya. Melihat dia dan lelaki itu saling bercumbu mesra dalam remang. Seperti inikah wajah aslimu, Cezta. Jawab aku!
“Aku dan lelaki itu tidak ada hubungan apa-apa Damian.”
“Maaf! Aku tidak percaya padamu.”
“Kau sudah salah paham. Aku mohon dengarkan dulu penjelasanku!”
“Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan. Apa yang aku lihat sudah lebih dari cukup untuk kujadikan sebagai bukti. Ingat, Cezta! Ini bukan yang pertama kalinya kau menghianatiku.”
“Damian, aku mencintaimu.”
“Pembohong keparat!”

Cezta
Fabio meninggalkanku ke kamar kecil. Hari beranjak dini hari. Pukul dua. Teryata Fabio mengundang banyak orang. Suasana gegap gempita. Mereka mengira aku adalah kekasih Fabio. Namun Fabio tidak berusaha menampik ia semakin mengeratkan pelukannya di pinggulku dan tak menggubris ajakan perempuan lain untuk minum. Tanpa segan ia mengajakku dan memperkenalkan satu per satu kawan main maupun rekan kerjanya. Kulihat Fabio bangga membawaku dan bahagia menghabiskan malam denganku. Tiba-tiba terlintas untuk memilih Fabio saja.
Fabio mengeluhkan perutnya. Ia kembali ke kamar kecil. Sudah kuduga. Ia pasti terlambat makan hari ini, telalu banyak alkohol dan kesehatannya buruk. Aku mengajaknya ke klinik dua puluh empat jam, beberapa blok dari sini. Fabio justru menarikku ke dalam rengkuhannya. “Tidak, aku tak mau menyudahi malam ini di klinik. Aku mau di sini, denganmu.” Kami bercumbu. Di sana, di kejauhan, Damian berdiri. Terlalu gelap, aku tak dapat mengartikan tatapannya.

Damian


Kami bertatapan, aku dan Cezta. Sepasang kekasih yang pernah saling mencintai kini harus saling berhadapan dalam sebuah perseteruan. Pangkal masalahnya sederhana saja menurutnya, tapi aku tidak terbiasa dengan itu. Bagiku itu adalah sebuah masalah besar, yang telah menggerus harga diriku sebagai seorang laki-laki. Aku terhina.


Cezta menangis. Tangannya gemetar menodongkan sepucuk pistol padaku. Begitu pun denganku. Tanganku mantap menggenggam baretta yang diwariskan ayahku. Aku tak bergeming. Tak ada lagi alasan untuk mundur barang setapak pun. Cezta sudah benar-benar membuatku muak. Seribu pembantahan yang dia muntahkan tak dapat memuaskan hasratku, apalagi membuatku yakin dan percaya padanya.
Aku maju selangkah, kulihat Cezta sedikit beringsut mundur. Mungkin dia gentar. Tapi aku sudah bulat dengan tekadku. Satu tarikan nafas mengiringi gerak ibu jariku menekan pelatuk. Dan… Duar!! Kulihat Cezta terjengkang ke belakang, jatuh dengan tubuh bersimbah darah.

Cezta
Damian menyeretku ke parkiran. Aku menjerit ketika ia membuka pintu mobil dan melemparku ke dalam.
“Mobilku bagaimana?”
“Jangan pikirkan itu!” ia membentakku. Ditariknya rambutku, “Dengar perempuan, mana harga dirimu? Mengapa kau rendahkan? Kau punya aku, buat apa kau kemari bersama laki-laki itu?”
“Damian,” rintihku. Damian melepas rambutku. Kepalaku membentur dashboard. Sakit luar biasa. Entah dibawa kemana aku. Ia mengendarai mobilnya seperti orang kesetanan. Kami hampir menabrak sebuah taksi. Ia memaki si sopir melalui kaca yang terbuka. Ia tak henti membunyikan klaksonnya. Aku merasa ngeri. Di pinggangnya, yang ditutupi kaus dan jaket tipis, tersingkap sepucuk baretta. Aku teringat pistol yang selalu kusimpan dalam tasku untuk membela diri. Tas itu masih diselempangkan di pundakku. Aku bersiap.

Damian
Aku menyeka peluh yang membasahi wajahku. Baru saja hendak kulangkahkan kakiku menuju pintu, ketika tiba-tiba aku merasakan nyeri yang teramat sangat di dadaku. Kepalaku rasanya seperti berputar-putar. Aku limbung dan jatuh terhempas membentur lantai.
Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Hari sudah menua sepertinya saat aku terbangun. Senyap dan dingin begitu kentara di ruangan ini. Aku masih mengerjap-ngerjapkan mataku saat kudengar sebuah suara.
“Rupanya kau sudah bangun, Damian.”
Aku mengenal suara itu. Ya, suara itu milik Cezta. Dalam keadaan setengah sadar aku memutar pandangan. Kulihat Cezta tengah duduk di sebuah kursi panjang di tengah ruangan. Kenapa dia bisa berada disitu. Bukankah aku sudah membunuhnya tadi.
“Kenapa kau memandangiku seperti itu?” Cezta bertanya.
“Kau masih hidup?” aku keheranan.
Cezta menyeringai. Bibirnya melengkung sinis.
“Damian, tidakkah kau menyadari apa yang telah terjadi pada kita? Coba kau perhatikan dirimu. Apakah kita masih hidup?”

Cezta
Damian melangkah mundur. Aku menerjangnya sekuat tenaga. Barettanya terjatuh. Kutendang semakin jauh. Aku memukulnya dengan sebilah kayu. Ia memuntir tanganku dan mendorongku ke sebuah peti. Kepalaku terantuk ujung peti. Darah mngucur deras. Aku berteriak. Ia menahan kedua tanganku. Aku berusaha menendang selangkangannya. Ia menamparku kanan kiri berulang kali. Aku menggigit lehernya. Ia memaki. Segala sumpah serapah keluar dari mulutnya. Aku menekan pelatuk. Pistolku memiliki peredam dari titanium. Ia makin menggila. Dicekiknya aku sekuat tenaga. Aku mencakar-cakar wajahnya. Ia mendorongku hingga terjerembab ke lantai. Kuraih pistolku. Ia berjalan ke arahku dengan barettanya, matanya buas siap melumatku hingga kepingan-kepingan terkecil. Aku takut. Mundur beberapa langkah. Ia maju.
“Apa kau akan membunuhku?”
Ia tertawa dan menekan pelatuknya. Aku terjengkang. Dadaku sesak. bola mataku berputar.
***
 With Erlinda Sukmasari Wasito

31

Minggu, 24 Februari 2013
:Ann

usia hanyalah angka-angka
yang senantiasa berarak menjadi jarak
dari mula kau dicipta
hingga kelak memejam mata

pun tanggal di almanak
sejatinya hanya bilangan
yang berulang dari tahun ke tahun
tak ada istimewa kecuali wajah yang menua

dengarlah Ann
berjuta alunan dedoa
bergema di ruas-ruas jiwa
penuhi lelangit angkasa

semoga luput segala petaka
semoga mekar segala bahagia

maka tersenyumlah
dan ucapkan aamiin

Suatu Ketika

Kamis, 21 Februari 2013

And if  you had a minute why don’t we go
Talk about it somewhere only we know
This could be the end of everything
So why don’t we go, somewhere only we know*
Di sini kita pernah duduk bersisian menatap lalu lalang kendaraan yang melaju berlawanan arah. Di tanganmu tergenggam satu kaleng kopi instan dingin yang nampak berembun seolah mengeluarkan keringat. Aku selalu membutuhkan minuman dingin dalam kaleng agar kepalaku yang selalu panas tidak meledak, terangmu. Sementara aku dengan tenangnya menyeruput segelas teh manis panas yang sengaja aku pesan dari warung kecil di seberang halte. Kita memang selalu menjadi dua kubu yang berseberangan dalam banyak hal. Namun entah mengapa kita berdua selalu saja betah duduk berlama-lama menikmati malam yang tak bisa disebut indah.
Di sini pula untuk pertama kalinya kita bertemu setelah sekian lama hanya saling bertukar pesan lewat telepon selular. Pesan-pesan singkat yang tak dapat lagi kuhitung berapa banyaknya. Kau persis seperti apa yang kubayangkan. Seorang laki-laki yang tidak ramah namun cukup menarik. Dan kau hanya tertawa kecil saat kuungkapkan kesan pertamaku terhadapmu. Ya, seperti inilah aku, ucapmu singkat.
Sekali lagi kita berada pada sisi yang berlawanan. Kau tahu aku tak pernah bisa diam, selalu saja banyak bicara, bercerita tentang berbagai hal. Bahkan cumi goreng mentega buatan ibuku pun bisa menjadi sebuah kisah panjang bila terlontar dari bibirku. Dan kau akan selalu menjadi pendengar paling setia di dunia ini. Padahal kau pun tahu betapa membosankannya segala apa yang kuceritakan itu. Aku terlahir untuk menjadi seorang pendengar bukan pendongeng, katamu.
Hingga entah pada pertemuan yang ke berapa, tiba-tiba saja kau terisak di pangkuanku. Kau mengeluh, kau bilang hidup tak pernah adil kepadamu. Mimpi dan cita-cita seolah tak pernah menemukan jalan untuk mendekat. Aku tak lagi punya harapan, aku lelah dengan keinginan. Aku hanyalah manusia yang terbuang, tangismu.
Lalu kau mulai bercerita tentang masa kanak-kanakmu yang menurutmu kelabu. Ibumu tak pernah memeluk atau menciummu. Dan ayahmu pergi meninggalkan kalian berdua tanpa pernah kau ketahui di mana keberadaannya hingga kini. Saat itu usiamu baru delapan. Ibumu tidak bisa menerima kenyataan. Dia menjadi sosok emosional yang selalu meluapkan amarahnya kepadamu. Ibumu bahkan kerapkali memukul wajahmu bila dirasanya kau mulai bertingkah nakal. Aku hanyalah anak-anak yang tidak mengerti apa-apa, tidak tahu seperti apa dunia orang dewasa itu, uraimu dengan emosi yang menggelegak hendak tumpah. Dan aku hanya terdiam menatapmu, perih. Itu adalah pertama kalinya kau bercerita kepadaku. Membuka kisah tentang dirimu dan  masa lalumu. Lalu kita pun saling berpelukan dan bertukar air mata, serupa dua orang yang telah berpuluh tahun tak berjumpa. Dinginmu menghangatkan kedua mataku dan hangatku mendinginkan air matamu.
Pelukan itu pulalah yang akhirnya menghantarkan kita berlayar dari malam ke malam, dari kamar ke kamar. Tanpa sekat, tanpa batas. Seolah dunia adalah sebuah padang rumput maha luas, dan hanya kita sajalah yang berdiam di atasnya. Padaku kau seperti menemukan tempat untuk berbagi kesah, dan padamu aku menemukan tempat untuk meluapkan cinta yang selama ini hanya tertahan di dalam dada.
Namun kenyataan memang selalu saja berselisih paham dengan keinginan. Sekeras apapun kita berusaha untuk tetap bersama, kita harus berpisah. Aku harus pulang, bisikku di antara helai rambutmu. Dan kau pun akan terdiam seolah tak merelakan kepergianku. Ada kalanya kau merajuk menggelayut manja memeluk tubuhku seperti seorang anak kecil yang tak rela melepas ibunya pergi bekerja. Tapi tetap saja aku tak bisa mengalah, aku harus tetap pergi, meski sesungguhnya aku tak pernah benar-benar pergi.
Bagaimanapun aku selalu berusaha mencuri kesempatan di sela-sela waktuku yang tak bisa dibilang lapang. Aku tak ingin membuatmu merasa kehilanganku barang sedetik pun. Seringkali di saat aku tak memiliki daya untuk menemukanmu kubiarkan anganku membentuk kisahnya sendiri. Kisah yang berbeda tentunya. Tentang kau dan aku yang bahagia, dua orang yang bertemu di tempat dan saat yang tepat. Menciptakan banyak momen-momen indah yang kelak akan kita kisahkan kembali kepada anak cucu kita.
Sunggguh, aku ingin khayal itu menjelma nyata. Bukan hanya menggantung dalam mimpi-mimpi semu yang membuatku tak bersemangat bangun. Kau tahu betapa sulitnya menjadi aku yang harus menjalani dua peran berbeda di dua dunia yang berbeda pula, duniamu dan duniaku sendiri. Lalu pada akhirnya kita kembali terbentur pahitnya kenyataan. Menghempaskan tubuh kita ke tanah hingga pecah menjadi serpih-serpih debu yang hilang diterbangkan angin.
Hari ini, kembali aku terdiam di tempat dulu kita bertemu untuk pertama kalinya. Di tanganku tergenggam satu kaleng kopi instan dingin yang tak lagi berembun. Entahlah, sepertinya aku mulai membutuhkan minuman dingin dalam kaleng agar kepalaku yang terasa panas tidak meledak. Hampir dua jam aku menunggu. Kau di mana? Beratus pesan yang kukirimkan tidak juga memperoleh balasan. Tidakkah kau tahu esok hari lonceng-lonceng gereja akan memanggilku untuk bersumpah. Ini mungkin akan menjadi akhir dari segalanya. Mengapa kita tak pergi saja ke suatu tempat yang hanya kau dan aku saja yang tahu. Aku tak butuh waktu banyak darimu. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku mencintaimu, bukan mencintainya.
Hampir dua jam aku menunggu. Dan aku mulai menangis
***
*Petikan lirik lagu somewhere only we know

Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken (Review)

Rabu, 13 Februari 2013


Judul: Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken
Penulis: Jostein Gaarder dan Klaus Hagerup
Penerjemah: Ridwana Saleh
Penerbit: Mizan
Tebal: 284 Hal
Harga: Rp. 39.000,-

Jika fantasi sama dengan kebohongan, para penulis mestilah merupakan pembohong yang paling antusias (hal; 35)
Dua sepupu Nils dan Berit, tinggal di kota yang berjauhan. Untuk menjalin komunikasi,  mereka saling berkirim surat dalam bentuk buku yang dikirimkan bolak-balik di antara mereka. Dalam buku-surat tersebut Nils dan Berit bercerita tentang seorang wanita tua misterius  yang diketahui bernama Bibbi Bokken.  Anehnya, Bibbi Bokken ini seolah mengetahui segala yang dituliskan oleh Nils dan Berit dalam buku-surat mereka. Dan oleh karena itu Bibbi Bokken beserta komplotannya berusaha merebut buku-surat dari tangan Nils dan Berit.
Nils dan Berit tentu saja tidak tinggal diam. Dengan sekuat tenaga mereka menjaga agar buku-surat tidak jatuh ke tangan Bibbi Bokken. Bahu membahu mereka bertindak bak detektif, menyelidiki asal usul Bibbi Bokken dan apa sebenarnya yang menjadi tujuan Bibbi Bokken dan komplotannya.
Lewat sepucuk surat yang terjatuh dari keranjang Bibbi Bokken, Berit mengetahui bahwa Bibbi Bokken adalah seorang bibliographer yang sedang menjalankan sebuah misi rahasia berkenaan dengan Perpustakaan Ajaib dan Buku Yang Akan Terbit Tahun Depan. Lalu dimulailah petualangan Nils dan Berit, dari kota tempat tinggal mereka hingga terowongan di dalam gua dan Roma, Italia.
Berhasilkah Nils dan Berit mempertahankan buku-surat mereka?  Dan siapakah sebenarnya Bibbi Bokken ini. Apakah ia adalah seorang penjahat, atau hanya seorang perempuan tua yang kesepian. Atau justru dialah jagoannya. Jawabannya ada di halaman-halaman terakhir buku ini.
Buku ini adalah buku kedua dari Jostein Gaarder yang saya baca. Setelah sebelumnya sempat dibuat semaput oleh Dunia Sophie, akhirnya di buku ini saya bisa tersenyum simpul bahkan tertawa lepas membayangkan keluguan dan kepolosan khas anak-anak ala Nils dan Berit. Berkolaborasi dengan Klaus Hagerup, tak menyebabkan Gaarder kehilangan ciri khasnya –bercerita di dalam cerita. Buku ini lumayan tipis dan ringan untuk dibaca, namun tetap menyelipkan berbagai ilmu pengetahuan di dalamnya. Di sini kita akan diajak berkenalan dengan Anne Frank, Kalisifikasi Desimal Dewey, Winnie The Pooh, Jan Erik Vold, Peer Grynt, perpustakaan dalam gua, tahapan-tahapan bagaimana sebuah buku diterbitkan, dan lain-lain. Masih tidak berminat membaca buku ini? Mungkin petikan di bawah ini bisa membantu mengubah pikiran anda:
“Buku terbaik mengenai buku dan budaya-baca yang ada saat ini “
-Oldenburgische Volkszeitung
Ilustrasi dari SINI

Matikota

 

Kota kami terletak di timur, di mana matahari terbit. Seharusnya kota kami hangat dan terang seperti halnya matahari. Namun beberapa tahun terakhir kota kami kehilangan cahaya. Gelap di mana-mana, menelan setiap cahaya yang tersisa. Kami berkubang dalam pekat.

Awalnya penduduk kota masih bisa tersenyum sekalipun berada dalam kegelapan. Setidaknya kami masih memiliki harapan. Kota kami tidak akan gelap selamanya. Pasti ada cara untuk mengusir kesuraman. Namun perlahan harapan pun mulai sirna seiring dengan meluasnya kegelapan. Setiap inci tanah dan udara kami dilahapnya dengan rakus. Hingga purna seluruh kota tenggelam dalam pekat.
Beratus-ratus insinyur dan orang-orang hebat didatangkan dari seluruh penjuru negri untuk membasmi kegelapan. Serupa superhero di televisi mereka berbondong-bondong datang dengan gagah berani. Beraneka rupa teori dikemukakan mengenai sebab-musabab kegelapan yang melanda kota kami. Mulai dari teori yang paling ilmiah sampai teori-teori yang bernuansa mistis silih berganti berlompatan dari mulut mereka. Satu persatu dari mereka pun mulai beraksi bak pahlawan. Namun bukannya membereskan masalah, mereka justru malah membuat masalah baru. Menimbulkan kekacauan –kekacauan baru sehingga kami semakin terpuruk.
Penduduk kota pun mulai dilanda frustasi. Isak tagis terdengar membahana memenuhi seantero kota. Ratapan dan caci maki silih berganti diteriakkan melalui pengeras suara. Namun jeritan kami tidak pernah terdengar oleh siapapun. Kami mulai kehilangan harapan.
Jalan-jalan dipenuhi manusia-manusia berwajah gerimis, tengadah dengan tatapan hampa. Bayi-bayi menjerit kelaparan sedang ibu-ibu mereka hanya bisa membatu, tak mampu berbuat apapun. Air susu mereka telah mengering. Yang menggenang hanyalah air mata dan darah. Maka disapihlah para bayi. Air susu diganti dengan air mata yang tak akan mampu mengenyangkan, apalagi menyehatkan tubuh ringkih mereka.
Hari berganti bulan dan bulan berganti tahun. Kami mulai terbiasa. Tak ada lagi air mata seiring dengan menghilangnya senyum dan juga tawa dari wajah kami. Kami berubah serupa mayat hidup. Berjalan, bernapas, dan berbicara tanpa ekspresi. Orang-orang bilang kami telah kehilangan mimpi.
Hingga pada suatu hari dibangunlah sebuah pabrik di batas kota oleh seorang pengusaha besar dari seberang. Pabrik mimpi namanya. Di sana mimpi diproduksi secara besar-besaran. Mimpi-mimpi yang telah jadi kemudian dikemas dengan sangat cantik dan didistribusikan ke setiap penjuru kota. Mulai dari toko-toko besar di jalan utama hingga warung-warung kecil di ujung gang memajang kotak-kotak mimpi di etalase mereka. Mimpi menjadi begitu mudah didapatkan.
Berbagai mimpi ditawarkan dan dijual bebas dengan rupa-rupa harga dari yang murahan sampai yang mahal dan ekslusif. Kami boleh membeli mimpi apapun yang kami mau. Mimpi erotis ataupun mimpi-mimpi magis semua terserah keinginan kami. Harga tak jadi masalah. Semua tersedia tanpa kecuali. Ada uang ada barang. Maka mulailah kami menguras seluruh uang dan harta kami untuk memenuhi hasrat akan mimpi.
Pabrik mimpi terus memproduksi mimpi. Toko-toko dan warung-warung pun terus meraup keuntungan dari jual beli mimpi. Namun kami tak lagi memiliki uang. Semua harta kami telah terkuras habis.
Penduduk pun mulai beringas. Satu persatu toko dan warung penjual mimpi dijarah dan dibakar habis. Pabrik mimpi pun akhirnya gulung tikar dan tak bisa lagi beroperasi karena tak ada lagi toko dan warung yang mau menjual mimpi. Maka musnahlah pabrik mimpi tanpa menyisakan satu mimpi pun untuk kami kenang.
Penduduk yang marah mulai kalap dan membabi buta. Satu persatu dari kami yang masih memiliki persediaan mimpi dibunuh dan dirampas mimpinya. Kegelapan dan teror pun akhirnya menjadi bagian dari hidup kami. Tak ada pilihan lain selain mengikuti alurnya. Kami pun berubah menjadi makhluk barbar dan liar. Memangsa atau dimangsa. Kami tak pernah lagi memikirkan mana kawan mana lawan. Semua adalah lawan. Siapa yang kuat dialah yang akan mampu bertahan. Maka, tak ada lagi kami dalam kepala kami. Yang ada hanyalah aku.

*ilustrasi dari SINI