Suatu Ketika

Kamis, 21 Februari 2013

And if  you had a minute why don’t we go
Talk about it somewhere only we know
This could be the end of everything
So why don’t we go, somewhere only we know*
Di sini kita pernah duduk bersisian menatap lalu lalang kendaraan yang melaju berlawanan arah. Di tanganmu tergenggam satu kaleng kopi instan dingin yang nampak berembun seolah mengeluarkan keringat. Aku selalu membutuhkan minuman dingin dalam kaleng agar kepalaku yang selalu panas tidak meledak, terangmu. Sementara aku dengan tenangnya menyeruput segelas teh manis panas yang sengaja aku pesan dari warung kecil di seberang halte. Kita memang selalu menjadi dua kubu yang berseberangan dalam banyak hal. Namun entah mengapa kita berdua selalu saja betah duduk berlama-lama menikmati malam yang tak bisa disebut indah.
Di sini pula untuk pertama kalinya kita bertemu setelah sekian lama hanya saling bertukar pesan lewat telepon selular. Pesan-pesan singkat yang tak dapat lagi kuhitung berapa banyaknya. Kau persis seperti apa yang kubayangkan. Seorang laki-laki yang tidak ramah namun cukup menarik. Dan kau hanya tertawa kecil saat kuungkapkan kesan pertamaku terhadapmu. Ya, seperti inilah aku, ucapmu singkat.
Sekali lagi kita berada pada sisi yang berlawanan. Kau tahu aku tak pernah bisa diam, selalu saja banyak bicara, bercerita tentang berbagai hal. Bahkan cumi goreng mentega buatan ibuku pun bisa menjadi sebuah kisah panjang bila terlontar dari bibirku. Dan kau akan selalu menjadi pendengar paling setia di dunia ini. Padahal kau pun tahu betapa membosankannya segala apa yang kuceritakan itu. Aku terlahir untuk menjadi seorang pendengar bukan pendongeng, katamu.
Hingga entah pada pertemuan yang ke berapa, tiba-tiba saja kau terisak di pangkuanku. Kau mengeluh, kau bilang hidup tak pernah adil kepadamu. Mimpi dan cita-cita seolah tak pernah menemukan jalan untuk mendekat. Aku tak lagi punya harapan, aku lelah dengan keinginan. Aku hanyalah manusia yang terbuang, tangismu.
Lalu kau mulai bercerita tentang masa kanak-kanakmu yang menurutmu kelabu. Ibumu tak pernah memeluk atau menciummu. Dan ayahmu pergi meninggalkan kalian berdua tanpa pernah kau ketahui di mana keberadaannya hingga kini. Saat itu usiamu baru delapan. Ibumu tidak bisa menerima kenyataan. Dia menjadi sosok emosional yang selalu meluapkan amarahnya kepadamu. Ibumu bahkan kerapkali memukul wajahmu bila dirasanya kau mulai bertingkah nakal. Aku hanyalah anak-anak yang tidak mengerti apa-apa, tidak tahu seperti apa dunia orang dewasa itu, uraimu dengan emosi yang menggelegak hendak tumpah. Dan aku hanya terdiam menatapmu, perih. Itu adalah pertama kalinya kau bercerita kepadaku. Membuka kisah tentang dirimu dan  masa lalumu. Lalu kita pun saling berpelukan dan bertukar air mata, serupa dua orang yang telah berpuluh tahun tak berjumpa. Dinginmu menghangatkan kedua mataku dan hangatku mendinginkan air matamu.
Pelukan itu pulalah yang akhirnya menghantarkan kita berlayar dari malam ke malam, dari kamar ke kamar. Tanpa sekat, tanpa batas. Seolah dunia adalah sebuah padang rumput maha luas, dan hanya kita sajalah yang berdiam di atasnya. Padaku kau seperti menemukan tempat untuk berbagi kesah, dan padamu aku menemukan tempat untuk meluapkan cinta yang selama ini hanya tertahan di dalam dada.
Namun kenyataan memang selalu saja berselisih paham dengan keinginan. Sekeras apapun kita berusaha untuk tetap bersama, kita harus berpisah. Aku harus pulang, bisikku di antara helai rambutmu. Dan kau pun akan terdiam seolah tak merelakan kepergianku. Ada kalanya kau merajuk menggelayut manja memeluk tubuhku seperti seorang anak kecil yang tak rela melepas ibunya pergi bekerja. Tapi tetap saja aku tak bisa mengalah, aku harus tetap pergi, meski sesungguhnya aku tak pernah benar-benar pergi.
Bagaimanapun aku selalu berusaha mencuri kesempatan di sela-sela waktuku yang tak bisa dibilang lapang. Aku tak ingin membuatmu merasa kehilanganku barang sedetik pun. Seringkali di saat aku tak memiliki daya untuk menemukanmu kubiarkan anganku membentuk kisahnya sendiri. Kisah yang berbeda tentunya. Tentang kau dan aku yang bahagia, dua orang yang bertemu di tempat dan saat yang tepat. Menciptakan banyak momen-momen indah yang kelak akan kita kisahkan kembali kepada anak cucu kita.
Sunggguh, aku ingin khayal itu menjelma nyata. Bukan hanya menggantung dalam mimpi-mimpi semu yang membuatku tak bersemangat bangun. Kau tahu betapa sulitnya menjadi aku yang harus menjalani dua peran berbeda di dua dunia yang berbeda pula, duniamu dan duniaku sendiri. Lalu pada akhirnya kita kembali terbentur pahitnya kenyataan. Menghempaskan tubuh kita ke tanah hingga pecah menjadi serpih-serpih debu yang hilang diterbangkan angin.
Hari ini, kembali aku terdiam di tempat dulu kita bertemu untuk pertama kalinya. Di tanganku tergenggam satu kaleng kopi instan dingin yang tak lagi berembun. Entahlah, sepertinya aku mulai membutuhkan minuman dingin dalam kaleng agar kepalaku yang terasa panas tidak meledak. Hampir dua jam aku menunggu. Kau di mana? Beratus pesan yang kukirimkan tidak juga memperoleh balasan. Tidakkah kau tahu esok hari lonceng-lonceng gereja akan memanggilku untuk bersumpah. Ini mungkin akan menjadi akhir dari segalanya. Mengapa kita tak pergi saja ke suatu tempat yang hanya kau dan aku saja yang tahu. Aku tak butuh waktu banyak darimu. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku mencintaimu, bukan mencintainya.
Hampir dua jam aku menunggu. Dan aku mulai menangis
***
*Petikan lirik lagu somewhere only we know

0 komentar:

Posting Komentar